Pemindahan Ibu kota dari Jakarta ke IKN Nusantara bukanlah tanpa argumen pendukung yang kuat dan valid. Hal ini didasari atas fakta antara lain bahwa beban Jakarta dan Jawa sudah terlalu berat. Dari data penduduk yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai sinkronisasi dari hasil Sensus Penduduk 2020 dengan data administrasi kependudukan (Adminduk) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 271,35 juta jiwa hingga Desember 2020.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 131,79 juta jiwa atau 55,94% penduduk Indonesia berada di Jawa. Proporsi penduduk Indonesia yang berada di Sumatera mencapai 21,73%. Sebanyak 7,43% penduduk Indonesia berada di Sulawesi. Kemudian, 6,13% penduduk Indonesia berada di Kalimantan.
Tingginya proporsi penduduk yang mendiami Pulau mengakibatkan beban Pulau Jawa, khususnya Jakarta sudah semakin berat, terutama dalam hal kepadatan penduduk, yang berimplikasi menimbulkan beragam permasalah turunan di antaranya kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah demikian pula dengan polusi udara dan air.
Sebagai ilustrasi beban berat kemacetan lalu lintas di Jakarta menurut riset World Bank 2019 telah mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar adalah Rp 65 triliun per tahun. Jakarta masuk dalam kategori kota dengan tingkat kemacetan sebesar 53 persen. Jakarta berada di peringkat 10 sebagai kota termacet di Asia. Akibat kemacetan tersebut, peningkatan 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya bisa meningkatkan 1,4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.
Kontribusi ekonomi Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atas Produk Domestik Bruto (PDB) sangat mendominasi atau “Jawasentris”. Hal ini dapat dicermati dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018. Kontribusi ekonomi terhadap PDB di Pulau Jawa sebesar 58,49 persen. Sebanyak 20,85 persen di antaranya disumbang oleh Jabodetabek. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa sebesar 5,61 persen.
Selain populasi, pemerintah menganggap ketersediaan air besih menjadi salah satu fokus pemerintah dalam menentukan lokasi ibu kota baru. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jawa khususnya Jakarta mengalami krisis air yang cukup parah.
Sebagaimana kita ketahui bersama isu mengenai tenggelamnya Jakarta telah lama dibahas. Sejumlah kajian pun menyebutkan bahwa Jakarta terus mengalami penurunan permukaan tanah hingga 10 – 12 centimeter per tahun yang diikuti dengan krisis air bersih.
Pada tingkat global Jakarta terancam tenggelam telah menjadi isu internasional setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengungkap prediksi bahwa DKI Jakarta bakal tenggelam dalam 10 tahun ke depan yang disampaikan dalam pidato tentang perubahan iklim di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, Selasa (27/7/2021). (setneg)