Jakarta – Perum Bulog akan diubah menjadi badan otonom yang berada langsung di bawah presiden. Dengan begitu, Bulog tidak akan lagi berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Informasi itu disampaikan langsung oleh Direktur Utama Bulog Wahyu Suparyono.
“Nanti Bulog jadi lembaga pemerintahan lainnya, di bawah presiden. Enggak (berstatus BUMN lagi) dong,” katanya di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11).
Bulog, sambungnya, akan sama seperti Badan Gizi Nasional yang berada langsung di bawah presiden. Ia pun membantah kabar Bulog akan berada di bawah Kementerian Pertanian (Kementan).
“Kurang lebih (seperti Badan Gizi). Saya tidak ada perintah (di bawah Kementan).
Saya diminta Pak Presiden menyiapkan transformasi kelembagaan,” katanya.
Bulog merupakan hasil peralihan kelembagaan atau perubahan status hukum Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Instansi ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/U/KEP/5/1967 pada 10 Mei 1967 sebagai LPND.
Tujuan pokok dibentuknya Bulog untuk mengamankan penyediaan pangan dan stabilisasi harga, dalam rangka menegakkan eksistensi pemerintahan di era Orde Baru.
Arah pemerintah mendorong Bulog menjadi badan usaha mulai terlihat dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2000.
Kemudian pada 20 Januari 2003, LPND Bulog berubah statusnya menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum Bulog.
Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas publik, Bulog tetap melakukan kegiatan menjaga harga dasar pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk bantuan sosial (bansos), serta pengelolaan stok pangan.
Lantas apa untung dan ruginya jika Bulog berada di bawah presiden?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan dengan Bulog menjadi badan otonom, presiden bisa langsung berkoordinasi soal urusan ketahanan pangan dan stabilisasi harga pangan.
Apalagi Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia bisa swasembada pangan.
“Sehingga meletakkan Bulog langsung di bawah presiden cukup bisa dipahami dan akan cukup memudahkan presiden dalam memantau kinerja Bulog, baik sebagai penjamin ketersediaan pangan maupun stabilisator harga bahan pangan,” katanya.
Namun secara manajerial, sambungnya, akan sedikit berlawanan dengan agenda teknis sebelumnya yang meletakkan urusan ketahanan pangan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
Meskipun Bulog mengurus soal ketersediaan cadangan dan stabilisasi harga, tetapi pada tataran ketersediaan pasokannya akan sangat tergantung pada ranah produksi bahan pangan, yang ditangani oleh Kementerian Pertahanan dan beberapa kementerian lainya.
Artinya, ada opsi lain juga untuk menyolidkan kinerja ketahanan pangan selain meletakkan Bulog di bawah presiden, yakni dengan cara menempatkan Bulog di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dan secara teknis berkoordinasi dengan TNI.
“Sehingga sisi produksi, distribusi, dan stok manajeman, terintegrasi di bawah kementerian yang sama, yakni Kementerian Pertahanan yang berkoordinasi dengan kementerian lainnya seperti Kementerian Pertanian,” imbuhnya.
Dengan Bulog berada langsung di bawah presiden, Ronny melihat tidak akan serta merta membuat harga bahan pokok bisa terkendali.
Soal kestabilan harga bahan pokok katanya tergantung kepada kebijakan teknis dari Bulog seperti seberapa serius Bulog bisa menyerap cadangan pangan untuk dikeluarkan di saat suplai rendah.
“Dengan kata lain, saya tidak melihat relasi Bulog yang akan diletakkan di bawah presiden dengan kemampuan Bulog dalam melakukan stabilisasi harga.
Hal itu sangat bergantung kepada kemampuan Bulog sendiri sebagai penjaga gawang cadangan pangan dan stabilisasi harga,” katanya.
Ronny juga menilai tidak ada jaminan swasembada pangan bisa tercapai jika Bulog langsung berada di bawah presiden. Bulog katanya hanya satu dari sekian faktor yang dibutuhkan untuk terjadinya swasembada pangan.
Peran Bulog hanya pada sisi pascaproduksi, yakni pengelolaan cadangan pangan nasional untuk stabilisasi harga.
Sementara swasembada pangan sulit tercapai jika kapasitas produksi nasional tak naik.
Terlepas dari itu semua, Ronny melihat peletakan Bulog menjadi wewenang dan hak prerogatif presiden.
Keberanian Prabowo dalam bereksperimen untuk menerobos kebuntuan kinerja Bulog selama ini katanya perlu diapresiasi.
“Di sisi lain, siapa tau niat utama Prabowo adalah untuk mereformasi Bulog dulu sebelum dipakai sebagai instrumen ketahanan pangan, mengingat sangat banyak cerita miring berkembang tentang Bulog selama ini,” katanya.
Senada, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan rencana untuk mengubah Bulog dari BUMN menjadi lembaga pemerintah yang berada langsung di bawah presiden menimbulkan harapan besar terkait peran Bulog dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Sebagai lembaga yang akan langsung berkoordinasi dengan presiden, sambungnya, Bulog bisa lebih fleksibel merespons perubahan harga atau kebutuhan pasar tanpa terhambat oleh birokrasi yang kompleks sebagaimana kerap terjadi pada BUMN.
Namun, Achmad melihat ada risiko yang menyertai perubahan status Bulog yakni ketergantungan pada pemerintah yang sedang berkuasa bisa memunculkan intervensi politik dalam pengambilan keputusan.
Ini berpotensi mengganggu netralitas Bulog terutama dalam menentukan harga pangan atau kebijakan impor.
Ia juga melihat meskipun Bulog nantinya di bawah presiden belum tentu berpengaruh ke stabilitas dan harga pangan.
Pasalnya, stabilitas dan harga pangan tidak semata-mata bergantung pada perubahan struktural Bulog.
“Salah satu tantangan utama dalam stabilisasi harga pangan adalah keberadaan Bulog yang belum tersebar di seluruh provinsi, yang mengakibatkan kesenjangan dalam distribusi pangan di berbagai wilayah,” katanya.
Selain itu, menjaga stabilitas harga pangan memerlukan kolaborasi erat dengan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang dikelola oleh Bank Indonesia (BI).
TPID katanya memainkan peran penting dalam pengendalian harga di tingkat lokal melalui pemantauan dan respons yang cepat terhadap dinamika pasar di setiap daerah.
Tantangan lain yang dihadapi adalah faktor eksternal seperti kondisi iklim, harga komoditas global, dan gangguan rantai pasok yang dapat memengaruhi harga pangan nasional.
Dengan demikian, meskipun berada di bawah presiden, efektivitas Bulog dalam menjaga stabilitas harga tergantung pada sinergi lintas lembaga dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
Perubahan peran Bulog di bawah presiden juga tidak serta-merta menjamin tercapainya swasembada pangan.
Pasalnya Bulog hanya berperan dalam pengelolaan stok dan distribusi pangan untuk menjaga stabilitas harga.
Sedangkan upaya swasembada memerlukan peningkatan produktivitas lahan, kualitas bibit, akses teknologi, serta dukungan infrastruktur, dan pembiayaan yang kuat di sektor pertanian.
“Untuk mencapai swasembada, diperlukan kebijakan yang holistik dan berkelanjutan di sektor pertanian, di mana Bulog berfungsi sebagai salah satu instrumen dalam rantai yang lebih besar, bukan satu-satunya faktor penentu,” imbuhnya.(CNNindonesia)