Sebelum memiliki usaha kuliner soto, Julaeha merupakan penerima penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Saat itu pendapatan keluarga Julaeha tidak menentu dari upah sang suami yang hanya berprofesi sebagai pelukis.
Leha sapaan akrabnya pun pernah melakoni berjualan nasi uduk dipinggir jalan dan berjualan nasi campur demi menghidupi anak yang masih bersekolah dan membayar kontrakan.
“Pernah waktu ada pendataan dari kelurahan, saya sempat nggak didata. Namun saya memberanikan diri untuk ijin didata, agar berharap mendapat bantuan. Selang beberapa lama, saya nggak nunggu tiba-tiba keluar,” kata dia.
Dana PKH yang diterimanya dipergunakan untuk modal berdagang soto di halaman rumahnya. Tak lama berjualan soto, karena sepi dan banyak saingan, Leha pun berhenti dagang dan bekerja sebagai SPG bumbu di Pasar Mutiara Karawaci tepatnya di warung soto betawi.
Melihat orang lain sukses dalam berdagang, Leha pun nekad keluar dari kerjaannya dan memutuskan untuk berdagang soto betawi di ruko pinggir jalan. Pendapatan hasil jualan di ruko pun terbilang sedikit, hanya sebesar Rp 200Ribu per hari.
Dengan penuh keberanian dan dukungan dari suami, Leha pun memberanikan diri untuk pindah ke ruko yang berlokasi di Prapatan Kantor. Gayung pun bersambut, dalam sehari ia bisa memperoleh omset sebesar Rp 800Ribu.
Usaha soto betawi Mpok Leha kemudian berkembang, dan hasilnya melampaui jumlah bantuan dana yang biasa ia terima dari PKH. Mpok Leha akhirnya memutuskan untuk keluar dari PKH di tahun 2018, dan kini ibu dua anak ini menjadi bagian dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH yang lulus, berhasil keluar dari kepesertaan program secara mandiri, karena kondisi ekonomi keluarganya sudah membaik.
“Sekarang omsetnya bisa mencapai Rp 8 juta sehari, dan berencana akan membuat frendchise soto betawi sendiri,” tukasnya.(dicy)