Jakarta – Sejumlah kalangan ekonom dari berbagai universitas mengingatkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Musababnya, aktivitas ekonomi di dalam negeri tengah tertekan, tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 yang tumbuh di bawah 5%, dipicu oleh tertekannya daya beli masyarakat akibat akumulasi inflasi yang tinggi beberapa bulan sebelumnya dan upah yang sangat rendah.
“Jadi memang kemarin angka-angka yang dikeluarkan BPS itu cukup mengkonfirmasi analisis kita terkait penurunan daya beli,” kata Guru Besar
Bidang Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/11/2024).
Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya mampu tumbuh 4,95%, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 yang sebesar 5,05% maupun kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05%.
Konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pengaruhnya terhadap PDB menurut pengeluaran sebesar 53,08% hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 sebesar 4,93%.
Dengan naiknya PPN pada 2025 sebesar 12% sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menurut Telisa akan semakin memberatkan daya beli masyarakat ke depan, dan berpotensi semain melemahkan laju konsumsi rumah tangga.
“Nah ini memang harus diwaspadai makanya harus hati-hati sekali dengan kebijakan PPN nanti ke depannya karena dikhawatirkan daya beli masyarakat ke depan akan semakin tertekan,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Telisa menyarankan supaya pemerintah memutuskan untuk segera menunda kenaikan PPN menjadi 12% dari yang saat ini sebesar 11% sebelum mampu memperbaiki daya beli masyarakat dengan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan tingkat upah yang menyejahterakan masyarakat.
“Harapannya PPN bisa ditunda, dan mungkin subsidi BBM juga tidak dihapus 100%.
Untuk kelompok-kelompok yang rentan dan memang membutuhkan itu harusnya tetap ada,” tegas Telisa.
Senada dengan Telisa, Ekonom dari Universitas Diponegoro Wahyu Widodo juga menilai pemerintah tidak ada alasan untuk tetap memutuskan kenaikan PPN mulai 1 Januari 2025.
Karena kebijakan itu langsung mempengaruhi kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi masyarakat.
“Lebih baik ini ditunda dulu mengingat tekanan perekonomian berat saat ini. Justru insentif/stimulus fiskal yang dibutuhkan,” ucap Wahyu.
Ia menganggap, untuk terus menyelamatkan ekonomi bisa tumbuh di atas 5%, yang dibutuhkan saat ini malah berasal dari belanja pemerintah yang optimal.
Sebab, jika mengandalkan konsumsi rumah tangga akan sulit karena daya beli masyarakat tengah ambruk, dan ekspor juga berpotensi makin tertekan dengan moderasi harga-harga komoditas maupun lemahnya aktivitas ekonomi global.
“Peran APBN sebagai shock absorber menjadi sangat vital di Kuartal IV, hanya saja ini dibarengi dengan transisi ke pemerintahan baru, yang secara kelembagaan bisa sedikit menghambat karena problem koordinasi dan sinergi. Kalau ini bisa diantisipasi, pertumbuhan Kuartal IV masih bisa di level 5%,” tegasnya.(CNBCIndonesia)